Kamis, 31 Januari 2013

indah dirumah mertua

TESTIMONI IMAN ) RUMAH
MERTUA INDAH - Tidak cocoknya
hubungan mertua dan menantu
merupakan salah satu masalah
klasik yang sering terjadi setelah
pernikahan. Berbagai macam konflik
kerap terjadi seputar hal ini. Ada
mertua yang galaklah, cerewetlah,
tidak suka sama menantu dan
berbagai alasan `miring` lainnya
yang membuat suasana tidak
harmonis. Terutama jika sang
menantu tinggal bersama dengan
mertua, bentrokan pasti terjadi.
Bersyukur saya, ketika awal
pernikahan mendapatkan mertua
yang begitu baik hati. Antara saya
dan mertua, khususnya ibu mertua
cocok-cocok saja. Malah perhatian
ibu mertua saya rasakan lebih dari
perhatian ibu kandung sendiri.
Secara rutin beliau selalu
mengirimkan khabar lewat telpon dan
menanyakan keaadaan saya yang
tinggal jauh dengannya. Beberapa
wejangan ataupun resep-resep
rahasia keluarga beliau turunkan
pada saya.
Seiring dengan bertambahnya usia
pernikahan dan belum hadirnya buah
hati, saya merasakan ada sedikit
perubahan dari sikap ibu mertua.
Semula saya menduga ini hanyalah
perasaan sensitif saja. Namun jika
diamati, ternyata memang ada yang
lain. Sikap ramahnya berubah
menjadi agak dingin. Sapaannya
terasa hanya basa basi saja.
Semua yang saya kerjakan
sepertinya selalu salah di mata
beliau. Ketika saya membawakan
oleh-oleh makanan manis, beliau
mengatakan gemar makanan asin.
Dan ketika saya membawa oleh-oleh
makanan asin, beliau menampiknya
dengan alasan takut darah tinggi.
Pembicaraan yang sering beliau
arahkan pada saya selalu masalah
keinginannya memiliki cucu. Jika kami
bertemu sudah pasti masalah `si
cucu` ini selalu keluar. Yang kadang
membuat saya bosan untuk
mendengarnya serta menjadi beban
tersendiri bagi saya yang memang
belum berhasil memberikan beliau
seorang cucu yang didambakannya.
Keadaan ini berlangsung lama dan
ini betul-betul membuat saya
membatin. Saya menjadi tidak suka
jika diminta datang untuk acara-
acara yang diadakan keluarga
suami. Yang ada dalam benak, pasti
muncul sikap ibu mertua dengan
wajah dinginnya. Akhirnya saya
berusaha membuat jarak dan
menjauh dari ibu mertua.
Di saat menjaga jarak ini, hati saya
bukannya membaik, malah makin
membatin. Ada perasaan tidak enak
diliputi rasa bersalah. Saya
khawatir, sikap menjauh ini akan
mempengaruhi hubungan suami
dengan sang ibu akan memburuk.
Apalagi jika saya teringat cerita
Wail bin Khatab maupun Al-Qomah
yang terjadi di zaman Rasulullah
saw, bergidik rasanya.
Wail bin Khatab yang menderita
sakit mengerikan saat menghadapi
kematian. Menggelepar-gelepar
mengeluarkan keringat dingin yang
membasahi seluruh tubuh disertai
tangan dan kakinya yang kaku
merengang tegang menghadapi
sakaratul maut. Begitu pula Al-
Qomah seorang shaleh yang saat
naza`sakaratul maut, lidahnya
terkunci tidak bisa mengucapkan
kalimat Tauhid. Semua disebabkan
karena sikap mereka yang lebih
mengutakaman isteri hingga
menyakiti perasaan sang ibu. Saya
tidak ingin hal ini terjadi pada
suami. Na`udzubillahimin dzalik.
Akhirnya saya melakukan introspeksi
diri. Saya mencoba merubah sikap
menjauhi dengan sikap mendekati ibu
mertua. Saya hapus sikap menelan
kata-kata kurang sedap beliau
dengan sikap memantul kata-kata.
Atau istilah `kerennya` masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri. Hingga
ucapan tak enak ataupun sikap
dinginnya tak sempat meresap dan
meracuni pikiran saya. Senyum, saya
usahakan untuk selalu tersenyum di
hadapannnya. Berusaha menjaga
perasannya dengan menahan emosi
pribadi.
Saya berusaha menjadi pendengar
setia untuk semua keluh kesahnya.
Setiap keluhan yang berhubungan
dengan belum hadirnya cucu, saya
akan jawab dengan kata-kata
ringan. “Doakan ya Ma, mudah-
mudahan Allah memberi
kepercayaan,” yang akan dijawab
anggukan ibu mertua.
Saya percaya, galaknya mertua,
cerewetnya mertua, atau cap miring
apalah yang ada pada mertua, tidak
lebih semata-mata karena mereka
pun adalah manusia. Hamba Allah
yang tak lepas dari sifat baik dan
sifat buruk. Tinggal bagaimana sang
menantu menyikapinya. Saya
mencoba taktik mengalah untuk
menang dengan bersabar. Memang
tidak mudah, tapi saya percaya
bahwa Allah Maha membolak-
balikan hati.
Kini, menjelang sembilan tahun
pernikahan, kesabaran saya
membuahkan hasil. Saya
mendapatkan kembali ibu mertua
yang sangat baik dan penuh
perhatian. Rasanya beliau semakin
menyayangi saya begitupun
sebaliknya. Beliau tidak pernah
`rese` lagi menyakan masalah belum
hadirnya cucu dari saya. Malah
beliaulah kini yang menjadi tameng
bagi saya saat orang-orang mulai
sering mempertanyakan keadaan
saya yang belum juga dikaruniai
keturunan.
Bagi saya, kini ibu mertua seperti
sahabat yang bisa diajak curhat.
Kalaupun ada pergesekan, saya
anggap hal yang wajar tidak perlu
dimasukan ke hati. Jangankan
dengan ibu mertua, dengan orang
tua sendiri yang melahirkan kita pun
kadang konflik itu terjadi. Yang
penting ada usaha menyangangi
mertua, biar tetap disayang.
Cerita Jamaah

1 komentar:

mohon dukungan komentarnya ya